Minggu, 23 November 2008

Ci Fiona, Mantan Guru Les-ku

Dulu temanku pernah bercerita tentang pengalaman kami bercinta dengan Ci Fiona guru les kami. Sekarang aku akan bercerita tentang pengalaman lain bersamanya. Ceritanya begini, memang sejak peristiwa itu kami sering mengulangi perbuatan itu lagi, namun selepas SMU kami berhenti les dengannya. Sejak itu sudah jarang sekali bertemu dengannya, apalagi waktu pacarnya yang di US pulang liburan.Hampir 2 tahun telah berlalu, tak terasa aku telah memasuki liburan semester 3. Liburan yang panjang selama 1 bulan lebih membuatku bosan, kerjaku hanya membantu di toko orang tuaku dan jalan-jalan di mall. Asiung sibuk dengan pacarnya, Vernand melewati liburan di Taiwan. Dan yang lebih membuatku stress adalah aku sedang ribut dengan pacarku, padahal gara-gara masalah sepele.Ditengah rasa bosan itu, pada suatu hari aku berjalan-jalan di Mall Taman Anggrek sendirian. Lumayan menghilangkan perasaan stress dengan merokok sambil melihat-lihat barang-barang dan gadis-gadis cantik lalu-lalang. Ketika aku sedang melihat-lihat barang jualan, tiba-tiba bahuku ditepuk seseorang, “Hans, lagi apa sendirian di sini?” Aku membalikkan badan dan seorang wanita cantik berdiri di belakangku. “Masih inget nggak?” tanyanya. Setelah memutar ingatan sejenak aku baru ingat, “Ohh.. Ci Fiona nih, wah udah lama nggak ketemu ya, gimana kabarnya Ci baik-baik aja?” Dia masih cantik seperti dulu meskipun penampilannya sedikit berubah, rambutnya yang dulu panjang sedada & dikuncir itu kini tinggal sebahu lebih dan waktu itu tidak berkacamata karena memakai soft lens, namun body dan kecantikannya tidak berubah sedikit pun. Dia sudah selesai kuliah tapi belum mendapat pekerjaan tetap, maka dia membuka les privat di rumahnya untuk siswa SD-SMU.“Cici sendirian juga nih, ngapain? belanja?” tanyaku. “Iya, Cici juga lagi kosong hari ini, mau liat-liat barang sekalian mau belanja dikit di supermarket, eh nggak taunya ketemu kamu Hans.” “Eh, omong-omong Cici masih kenal sama saya nih, padahal udah lama nggak ketemu ya”, godaku. “Ah kamu, gimana Cici bisa lupa sama murid yang paling bandel.” Aku jadi agak tersipu malu mengingat peristiwa dulu itu. Dan aku menemaninya belanja sambil ngobrol-ngobrol dengannya. Karena dia juga sedang menganggur, setelah itu aku bersamanya pergi ke tepi laut dengan mobilku, melihat laut kadang-kadang membuat hati yang galau terasa lebih segar. Di sana kami ngobrol-ngobrol sampai tak terasa sudah hampir jam 6 malam. Tanpa disadari hubungan kami sudah seperti orang berpacaran saja walaupun dia lebih tua 4 tahun dariku dan pernah menjadi guru lesku.“Wah Ci udah malam nih kita cari makan dulu yuk, lapar nih”, kataku padanya, dia setuju dan kami pun mencari restoran dan makan di sana. “Ko Willy (pacarnya red) kapan pulang Ci, kasihan kan Cici sendirian terus”, tanyaku di restoran. “Minggu ini dia diwisuda kok, jadi paling 2 minggu lagi pulang. “Selamat ya Ci, kalau married nanti undang saya ya!” kataku bercanda. “Ah, bisa kamu Hans, nikahnya sih belum tau kapan.”Sesudah pesanan datang, kami makan. Teringat masalah dengan pacarku, aku memesan bir, tanpa sadar aku telah menghabiskan 3 botol dan mulai merasa pusing. Ci Fiona menyuruhku berhenti minum. “Hans apa-apaan sih kamu minum sampai begini, sudah.. sudah jangan minum lagi.” Aku memanggil pelayan dan membayar bonnya. Karena keadaanku yang sudah setengah sadar maka Ci Fiona yang menyetir mobil mengantarku pulang. Agar orang tuaku tidak mendapatiku sedang mabuk, aku memintanya agar pulang ke rumahku yang di kompleks (aku mempunyai 2 rumah, 1 ruko, tempat keluargaku biasa tinggal, 1 lagi di kompleks perumahan, yang ini berfungsi untuk gudang dan rumah tinggal, jarang ditinggali, biasa kupakai kumpul-kumpul dengan teman dan barang-barangku juga banyak disimpan di sana). Siangnya aku juga sudah bilang pada orang tuaku bahwa aku mungkin tidur di rumah ini, jadi tidak usah kuatir kalau tidak pulang ke ruko.Di rumah tidak ada siapa-siapa, aku masuk ke ruang tamu dengan sempoyongan dituntun olehnya dan menjatuhkan diri di sofa. “Hans, kamu kenapa sih kok bisa mabuk gini, ada masalah apa sebenarnya?” tanyanya sambil menyodorkan air putih padaku. Akhirnya aku menceritakan segala masalah dengan pacarku padanya. Dia mendengarkan segala keluhanku dengan penuh perhatian. Dia menyuruhku tidur saja agar lebih tenang. Dituntunnya aku masuk kamar. Ketika dia menuntunku tak sengaja kulihat belahan dadanya melalui kaos berleher V-nya, birahiku makin bangkit ketika teringat dulu ketika masih les aku dan teman-temanku ‘mengerjainya‘, terlintas dalam pikiranku mengulangi perbuatan itu apalagi di rumah kosong.Ketika aku menjatuhkan diri ke ranjang, kutarik tangannya sehingga dia ikut rebah bersamaku. Posisinya sekarang berada di atasku berhadap-hadapan. “Aduh apa-apaan ini Hans, kamu.. mmhh!” Sebelum dia habis berkata, bibirku sudah menempel di bibirnya yang tipis itu. Aku segera berguling sehingga sekarang dia berada di bawahku. Dengan nafsu membara kuciumi terus dia, kujilat-jilat bibir bawahnya. Tangannya terus bergerak mendorong dadaku berusaha lepas, tapi kupeluk dia kuat-kuat, kutambah rangsangan dengan meremas-remas buah dadanya dan mengesek-gesekkan kejantananku ke bagian kemaluannya, lama-lama gerakannya melemah dan sekarang bibirnya mulai membuka, lidahku masuk dan mulai bermain di dalam, Ci Fiona memang hebat dalam French Kiss, lidah kami saling berpilin dan menyedot, enak sekali rasanya, kami sudah mulai hanyut dalam nafsu.Ini bukan pertama kalinya aku dan dia berbuat begitu, maka kali ini sudah tidak canggung lagi. Sesudah melepas stelan luarnya, tanganku menaikkan kaos buntungnya dan menyusup ke dalam BH-nya, kupencet-pencet puting susunya sambil terus berciuman. Sekarang mulutku berpindah ke leher jenjangnya, kujilat lehernya dan tanganku makin ganas di dadanya. “Ahh.. ohh, Hans kamu belum berubah juga..masih nakal seperti dulu.. ahh”, desahnya. Diapun membalasku dengan membuka kancing bajuku, sementara tanganku sudah mulai bergerak membuka reitsleting celana jeans-nya, kulepaskan celana itu dan melihat celana dalam putihnya. Setelah itu kubuka juga kaos buntung dan BH-nya, namun sebelum aku melepas CD-nya, Ci Fiona membalik tubuhku dan berada di atasku. Sambil mengelus wajahku dia berkata, “Hans, kalau Cici bisa menghilangkan kekesalan kamu pada Santi, milikilah Cici malam ini saja..” selesai berkata dia melucuti kemejaku dan membuka celanaku kemudian CD-ku.Tanpa basa basi dijilatinya barangku mulai dari buah pelir ke kepalanya, kemudian dimasukkan ke mulutnya. Lalu dia memutar tubuhnya sehingga kemaluannya di atas wajahku (posisi 69). Aku tidak langsung membuka CD-nya tapi kuusap-usap & kutekan-tekan dulu daerah liang senggamanya sampai terlihat basah baru kutarik lepas. Wajahku terbenam di kemaluan yang ditumbuhi bulu-bulu lebat itu, kujilati klitorisnya yang sudah basah itu dan dibalasnya dengan sedotan-sedotannya yang nikmat, dia membiarkan batang kemaluanku dalam mulutnya dan dimain-mainkan dengan lidahnya sambil dihisap, sementara aku mengigit pelan bibir kemaluannya. Setelah 10 menit, karena aku tidak mau cepat-cepat orgasme kusuruh dia berhenti. Kali ini Ci Fiona tidur telentang, aku menindihnya dan kumasukkan batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaannya. Aku mulai memompanya. Kugerakkan pantatku naik turun dan dia pun mengikuti gerakan tubuhku. Dia mulai ribut merintih sambil mengigiti jarinya, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kakinya sudah melingkari pinggangku, sesekali dia juga mencium bibirku. “Ohh.. Hans terus.. bagus.. ohh.. lebih dalam!” Makin lama makin kupercepat gerakanku, kami semakin liar di ranjang, kalau ranjangnya murahan bisa-bisa ambruk karena guncangan sekuat ini. 30 menit kami berada dalam posisi ini, tubuh kami sudah mandi keringat. Akhirnya kurasakan dia mulai mengejang, kedua kakinya semakin kencang menjepit pinggangku, tangannya memelukku erat-erat bahkan kurasakan kukunya mulai menggores punggungku, tapi tak kuhiraukan.“Hans.. sedikit lagi.. akhh.. Cici sudah sampai.. tahan dikit lagi..” akhirnya cairan hangat kurasakan membasahi batang kemaluanku disertai lolongan panjangnya. Tapi aku masih belum orgasme, kuteruskan menggenjotnya sampai 5 menit kemudian giliranku yang menyemburkan maniku di dalam liang kewanitaannya. Tubuhku mulai melemas, kami saling cium sambil berguling-guling sampai akhirnya berbaring dengan nafas terengah-engah.“Tambah hebat aja kamu, hampir sehebat Ko Willy kamu Hans!” kata Ci Fiona sambil menyeka keringat di dahiku. Aku hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu. Mendadak dia menciumku turun ke leher, dada, perut, akhirnya batang kemaluanku. Dikulumnya batang kemaluanku yang masih berlumur sperma dan cairan liang kewanitaannya itu dengan rakus. Batang kemaluanku yang tadinya mulai loyo kembali menegang di mulutnya. Aku mengubah posisiku bersandar di ujung ranjang sehingga aku bisa memijat-mijat payudaranya yang berukuran sedang tapi montok itu.Setelah membersihkan batang kemaluanku, dia duduk di pangkuanku dengan posisi berlutut. Sambil kuelus-elus pantatnya dia perlahan-lahan menurunkan badannya sampai batang kemaluanku tertanam di liang senggamanya. Tanpa kuperintah, dia langsung menggerakkan tubuhnya turun naik seperti naik kuda. Payudaranya yang tepat di depan wajahku ikut bergoyang-goyang naik turun seirama gerakan badannya. Kuhisap payudara kirinya sementara yang kanan kupijat-pijat dengan lembut sesekali kuputar & kutarik puting merah muda yang sudah keras itu.Sebelum klimaks kedua kalinya kusuruh dia berganti posisi. Kali ini dia menungging di depanku, ingin main belakang rupanya sekarang. Kumasukkan batang kemaluanku ke anusnya dan tanganku meremas-remas payudaranya yang menggantung itu. Genjotanku membuatnya mengerang-erang nikmat sambil terus memacu tubuhnya mengimbangi gerakanku. Butir-butir keringatnya berjatuhan di ranjang. Lubang yang sempit itu membuatku sudah tidak tahan lagi akhirnya kukeluarkan juga cairan maniku di perut dan dadanya. Setelahnya aku berbaring di sisinya. Benar-benar lelah aku saat itu ditambah lagi dengan pusing pengaruh bir, ingin langsung tidur saja rasanya. Kuakui memang walau Ci Fiona tidak sesempit pacarku tapi dalam hal daya tahan & variasi bercinta dia jauh diatas pacarku yang amatiran.“Hans, boleh Cici pinjam kamar mandi? dari tadi siang belum mandi nih”, tanyanya sambil mengusap rambutku yang sudah kusut. Aku hanya mengangguk, dan dia masuk ke kamar mandi yang berada di kamarku, setelah kudengar suara percikan shower, aku tidak tahu apa-apa lagi karena langsung tertidur kelelahan.Besok paginya kutemukan aku dan dia yang tertidur di sebelahku dalam keadaan polos hanya tertutup selimut. Aku baru sadar kemarin malam mabuk dan melakukan hal itu lagi. Aku panik kenapa dia tidak pulang, kalau orang rumahnya khawatir bagaimana nih. Segera kubangunkan dia. “Ci.. Ci.. bangun, kenapa tidur di sini, ntar orang tua Cici cariin gimana nih!” seruku dengan kalang kabut. “Aduh.. Hans ngapain sih kamu, rumah Cici kan kosong sampai sore ini, kamu ganggu orang tidur aja ah, Cici udah capek gara-gara kamu tau”, katanya sambil mengusap-usap matanya. Lega aku mendengar itu. Sambil tetap berbaring dia bertanya, “Hans, kita sudah berapa kali melakukan dosa ini?”. Setelah terdiam sejenak kujawab, “Lupa Ci, maafin Hans ya, kemarin saya mabuk tidak bisa mengontrol diri, Cici marah ya.” “Hans.. Cici bukannya marah atau sok perhatian, Cici cuma sedih sama sifat kamu yang belum dewasa, baru masalah sama pacar aja mabuk kaya gitu, kamu pikir alkohol bisa membereskan masalah, Cici juga pernah ribut sama pacar tapi selesaikan dong baik-baik, kalau kamu cinta dia.. cari dia & berbaikan, bukan main alkohol apalagi drugs, malu Cici sih kalau punya murid yang pikirannya pendek kaya kamu ini Hans, lihat dirimu kemarin malam, orang tidak seperti orang, setan tidak seperti setan”, katanya dengan nada serius. Aku termenung sesaat mendengar kata-katanya.Jam 9.30 sesudah makan kuantar dia pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan kami tidak berbicara apapun, baru sekarang dia menegurku keras dan itu membuatku sadar dari kesalahanku, sesampainya pun dia hanya mengucapkan terima kasih tanpa senyum dan menolak waktu kubantu membawakan belanjaannya. Beberapa hari kemudian aku mulai berbaikan kembali dengan pacarku dan bertekad mengurangi kebiasaan minumku sesuai nasehatnya.Empat bulan kemudian aku menerima undangan pernikahannya. Dia sudah dipersunting oleh Ko Willy yang telah menyelesaikan studinya di Amerika. Aku & teman-teman datang ke pestanya dan melihat betapa anggunnya dia dalam pakaian pengantin, serasi dengan suaminya yang tampan itu. Setelah itu aku tidak pernah menemuinya lagi karena tidak ingin merusak rumah tangga orang, kudengar sekarang dia sudah melahirkan sepasang anak kembar perempuan dan hidup bahagia.
Diposkan oleh Haryo Saru di 21:58 0 komentar
Label:

Cerita Tak Terlupakan
Hingga kini, kisah ini masih sering terlintas dalam benak dan pikiranku. Entah suatu keberuntungankah atau kepedihan bagi si pelaku. Yang jelas dia sudah mendapatkan pengalaman berharga dari apa yang dialaminya. Sebut saja namaya si Jo. Berasal dari kampung yang sebenarnya tidak jauh-jauh sekali dari kota Yogya. Di kota Yogya inilah dia numpang hidup pada seorang keluarga kaya. Suami istri berkecukupan dengan seorang lagi pembantu wanita Inah, dengan usia kurang lebih diatas Jo 2-3 tahun. Jo sendiri berumur 15 tahun jalan.Suatu hari nyonya majikannya yang masih muda, Ibu Rhieny atau biasa mereka memanggil Bu Rhien, mendekati mereka berdua yang tengah sibuk di dapur yang terletak di halaman belakang, di depan kamar si Jo. “Inah.., besok lusa Bapak hendak ke Kalimantan lagi. Tolong siapkan pakaian secukupnya jangan lupa sampai ke kaos kakinya segala..” perintahnya. “Kira-kira berapa hari Bu..?” tanya Inah hormat. “Cukup lama.. mungkin hampir satu bulan.” “Baiklah Bu..” tukas Inah mahfum. Bu Rhien segera berlalu melewati Jo yang tengah membersihkan tanaman di pekarangan belakang tersebut. Dia mengangguk ketika Jo membungkuk hormat padanya.Ibu Rhien majikannya itu masih muda, paling tua mungkin sekitar 30 tahunan, begitu Inah pernah cerita kepadanya. Mereka menikah belum lama dan termasuk lambat karena keduanya sibuk di study dan pekerjaan. Namun setelah menikah, Bu Rhien nampaknya lebih banyak di rumah. Walaupun sifatnya hanya sementara, sekedar untuk jeda istirahat saja. Dengan perawakan langsing, dada tidak begitu besar, hidung mancung, bibir tipis dan berkaca mata serta kaki yang lenjang, Bu Rhien terkesan angkuh dengan wibawa intelektualitas yang tinggi. Namun kelihatan kalau dia seorang yang baik hati dan dapat mengerti kesulitan hidup orang lain meski dalam proporsi yang sewajarnya. Dengan kedua pembantunya pun tidak begitu sering berbicara. Hanya sesekali bila perlu. Namun Jo tahu pasti Inah lebih dekat dengan majikan perempuannya, karena mereka sering bercakap-cakap di dapur atau di ruang tengah bila waktunya senggang.Beberapa hari kepergian Bapak ke Kalimantan, Jo tanpa sengaja menguping pembicaraan kedua wanita tersebut. “Itulah Nah.. kadang-kadang belajar perlu juga..” suara Bu Rhien terdengar agak geli. “Di kampung memang terus terang saya pernah Bu..” Inah nampak agak bebas menjawab. “O ya..?” “Iya.. kami.. sst.. pss..” dan seterusnya Jo tidak dapat lagi menangkap isi pembicaraan tersebut. Hanya kemudian terdengar tawa berderai mereka berdua.Jo mulai lupa percakapan yang menimbulkan tanda tanya tersebut karena kesibukannya setiap hari. Membersihkan halaman, merawat tanaman, memperbaiki kondisi rumah, pagar dan sebagainya yang dianggap perlu ditangani. Hari demi hari berlalu begitu saja. Hingga suatu sore, Jo agak terkejut ketika dia tengah beristirahat sebentar di kamarnya. Tiba-tiba pintu terbuka, “Kriieet.. Blegh..!” pintu itu segera menutup lagi. Dihadapannya kini Bu Rhien, majikannya berdiri menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat ia mengerti. “Jo..” suaranya agak serak. “Jangan kaget.. nggak ada apa-apa. Ibu hanya ada perlu sebentar..” “Maaf Bu..!” Jo cepat-cepat mengenakan kaosnya. Barusan dia hanya bercelana pendek. Bu Rhien diam dan memberi kesempatan Jo mengenakan kaosnya hingga selesai. Nampaknya Bu Rhien sudah dapat menguasai diri lagi. Dengan mimik biasa dia segera menyampaikan maksud kedatangannya. “Hmm..,” dia melirik ke pintu. “Ibu minta kamu nggak usah cerita ke siapa-siapa. Ibu hanya perlu meminjam sesuatu darimu..” Kemudian dia segera melemparkan sebuah majalah. “Lihat dan cepatlah ikuti perintah Ibu..!” suara Bu Rhien agak menekan. Agak gelagapan Jo membuka majalah tersebut dan terperangah mendapati berbagai gambar yang menyebabkan nafasnya langsung memburu. Meski orang kampung, dia mengerti apa arti semua ini. Apalagi jujur dia memang tengah menginjak usia yang sering kali membuatnya terbangun di tengah malam karena bayangan dan hawa yang menyesakkan dada bila baru nonton TV atau membaca artikel yang sedikit nyerempet ke arah “itu”. Sejurus diamatinya Bu Rhien yang tengah bergerak menuju pintu. Beliau mengenakan kaos hijau ketat, sementara bawahannya berupa rok yang agak longgar warna hitam agak berkilat entah apa bahannya. Segera tangan putih mulus itu menggerendel pintu. Kemudian.., “Berbaringlah Jo.. dan lepaskan celanamu..!” Agak ragu Jo mulai membuka. “Dalemannya juga..” agak jengah Bu Rhien mengucapkan itu. Dengan sangat malu Jo melepaskan CD-nya. Sejenak kemudian terpampanglah alat pribadinya ke atas.Lain dari pikiran Jo, ternyata Bu Rhien tidak segera ikut membuka pakaiannya. Dengan wajah menunduk tanpa mau melihat ke wajahnya, dia segera bergerak naik ke atas tubuhnya. Jo merasakan desiran hebat ketika betis mereka bersentuhan. Naik lagi.. kini Jo bisa merasakan halusnya paha majikannya itu bersentuhan dengan paha atasnya. Naik lagi.. dan.. Jo merasakan seluruh tulang belulangnya kena setrum ribuan watt ketika ujung alat pribadinya menyentuh bagian lunak empuk dan basah di pangkal paha Bu Rhien. Tanpa memperlihatkan sedikitpun bagian tubuhnya, Bu Rhien nampaknya hendak melakukan persetubuhan dengannya. Jo menghela nafas dan menelan ludah ketika tangan lembut itu memegang alatnya dan, “Bleesshh..!” Dengan badan bergetar antara lemas dan kaku, Jo sedikit mengerang menahan geli dan kenikmatan ketika barangnya dilumat oleh daging hangat nan empuk itu.Dengan masih menunduk Bu Rhien mulai menggoyangkan pantatnya. Tangannya menepis tangan Jo yang secara naluriah hendak merengkuhnya. “Hhh.. ehh.. sshh.. ” kelihatan Bu Rhien menahan nafasnya. “Aakh.. Bu.. saya.. saya nggak tahan..” Jo mulai mengeluh. “Tahann sebentar.. sebentar saja..!” Bu Rhien nampak agak marah mengucapkan itu, keringatnya mulai bermunculan di kening dan hidungnya. Sekuat tenaga Jo menahan aliran yang hendak meledak di ujung peralatannya. Di atasnya Bu Rhien terus berpacu.. bergerak semakin liar hingga dipan tempat mereka berada ikut berderit-derit. Makin lama semakin cepat dan akhirnya nampak Bu Rhien mengejang, kepalanya ditengadahkan ke atas memperlihatkan lehernya yang putih berkeringat. “Aaahhkhh..!” Sejurus kemudian dia berhenti bergoyang. Lemas terkulai namun tetap pada posisi duduk di atas tubuh Jo yang masih bergetar menahan rasa. Nafasnya masih memburu.Beberapa saat kemudian, “Pleph..!” tiba-tiba Bu Rhien mencabut pantatnya dari tubuh Jo. Dia segera berdiri, merapihkan rambutnya dan roknya yang tersingkap sebentar. Kemudian, “Jangan cerita kepada siapapun..!” tandasnya, “Dan bila kamu belum selesai, kamu bisa puaskan ke Inah.. Ibu sudah bicara dengannya dan dia bersedia..” tukasnya cepat dan segera berjalan ke pintu lalu keluar. Jo terhenyak di atas kasurnya. Sejenak dia berusaha menahan degup jantungnya. Diambilnya nafas dalam-dalam. Sambil sekuat tenaga meredam denyutan di ujung penisnya yang terasa mau menyembur cepat itu. Setelah bisa tenang, dia segera bangkit, mengenakan pakaiannya kemudian berbaring. nafasnya masih menyisakan birahi yang tinggi namun kesadarannya cepat menjalar di kepalanya. Dia sadar, tak mungkin dia menuntut apapun pada majikan yang memberinya hidup itu. Namun sungguh luar biasa pengalamannya tersebut. Tak sedikitpun terpikir, Bu rhien yang begitu berwibawa itu melakukan perbuatan seperti ini.Dada Jo agak berdesir teringat ucapan Bu Rhien tentang Inah. Terbayang raut wajah Inah yang dalam benaknya lugu, tetapi kenapa mau disuruh melayaninya..? Jo menggelengkan kepala.. Tidak..! biarlah perbuatan bejat ini antara aku dan Bu Rhien. Tak ingin dia melibatkan orang lain lagi. Perlahan tapi pasti Jo mampu mengendapkan segala pikiran dan gejolak perasaannya. Beberapa menit kemudian dia terlelap, hanyut dalam kenyamanan yang tanggung dan mengganjal dalam tidurnya. Perlakuan Bu Rhien berlanjut tiap kali suaminya tidak ada di rumah. Selalu dan selalu dia meninggalkan Jo dalam keadaan menahan gejolak yang menggelegak tanpa penyelesaian yang layak. Beberapa kali Jo hendak meneruskan hasratnya ke Inah, tetapi selalu diurungkan karena dia ragu-ragu, apakah semuanya benar-benar sudah diatur oleh majikannya atau hanyalah alasan Bu Rhien untuk tidak memberikan balasan pelayanan kepadanya.Hingga akhirnya pada suatu malam yang dingin, di luar gerimis dan terdengar suara-suara katak bersahutan di sungai kecil belakang rumah dengan rythme-nya yang khas dan dihafal betul oleh Jo. Dia agak terganggu ketika mendengar daun pintu kamarnya terbuka. “Kriieet..!” ternyata Bu Rhien. Nampak segera melangkah masuk kamar. Malam ini beliau mengenakan daster merah jambu bergambar bunga atau daun-daun apa Jo tidak jelas mengamatinya. Karena segera dirasakannya nafasnya memburu, kerongkongannya tercekat dan ludahnya terasa asin. Wajahnya terasa tebal tak merasakan apa-apa. Agak terburu-buru Bu Rhien segera menutup pintu. Tanpa bicara sedikitpun dia menganggukkan kepalanya. Jo segera paham. Dia segera menarik tali saklar di kamarnya dan sejenak ruangannya menjadi remang-remang oleh lampu 5 watt warna kehijauan. Sementara menunggu Jo melepas celananya, Bu rhien nampak menyapukan pandangannya ke seantero kamar. “Hmm.. anak ini cukup rajin membersihkan kamarnya..” pikirnya. Tapi segera terhenti ketika dilihatnya “alat pemuasnya” itu sudah siap. Dan.., kejadian itu terulang kembali untuk kesekian kalinya. Setelah selesai Bu Rhien segera berdiri dan merapihkan pakaiannya. Dia hendak beranjak ketika tiba-tiba teringat sesuatu.“Oh Ibu lupa..” terhenti sejenak ucapannya. Jo berpikir keras.. kurang apa lagi..? Jujur dia mulai tidak tahan mengatasi nafsunya tiap kali ditinggal begitu saja, ingin sekali dia meraih pinggang sexy itu tiap kali hendak keluar dari pintu. Lanjutnya, “Hmm.. Inah pulang kampung pagi tadi..” dengan wajah agak masam Bu Rhien segera mengurungkan langkahnya. “Rasanya tidak adil kalau hanya Ibu yang dapat. Sementara kamu tertinggal begitu saja karena tidak ada Inah..” Jo hampir keceplosan bahwa selama ini dia tidak pernah melanjutkan dengan Inah. Tapi mulutnya segera dikuncinya kuat-kuat. Dia merasa Bu Rhien akan memberinya sesuatu. Ternyata benar.. Perempuan itu segera menyuruhnya berdiri.“Terpaksa Ibu melayani kamu malam ini. Tapi ingat.., jangan sentuh apapun. Kamu hanya boleh melakukannya sesuai dengan yang Ibu lakukan kepadamu..” Kemudian Bu Rhien segera duduk di tepi ranjang. Dirainya bantal untuk ganjal kepalanya. Sejurus kemudian dia membuka pahanya. Matanya segera menatap Jo dan memberinya isyarat. “..” Jo tergagap. Tak mengira akan diberi kesempatan seperti itu. Dalam cahaya kamar yang minim itu dadanya berdesir hebat melihat sepasang paha mulus telentang. Di sebelah atas sana nampak dua bukit membuncah di balik BH warna krem yang muncul sedikit di leher daster. Dengan pelan dia mendekat. Kemudian dengan agak ragu selangkangannya diarahkan ke tengah diantara dua belah paha mulus itu. Nampak Bu Rhien memalingkan wajah ke samping jauh.. sejauh-jauhnya.“Degh.. degh..” Jo agak kesulitan memasukkan alatnya. Karena selama ini dia memang pasif. Sehingga tidak ada pengalaman memasukkan sama sekali. Tapi dia merasakan nikmat yang luar biasa ketika kepala penisnya menyentuh daging lunak dan bergesekan dengan rambut kemaluan Bu Rhien yang tebal itu. Hhh..! Nikmat sekali. Bu Rhien menggigit bibir. Ingin rasanya menendang bocah kurang ajar ini. Tapi dia segera menyadari ini semua dia yang memulai. Badannya menggelinjang menahan geli ketika dengan agak paksa namun tetap pelan Jo berhasil memasukkan penisnya (yang memang keras dan lumayan itu) ke peralatan rahasianya. Beberapa saat kemudian Jo secara naluriah mulai menggoyangkan pantatnya maju mundur. “Clep.. clep.. clep..!” bunyi penisnya beradu dengan vagina Bu Rhien yang basah belum dicuci setelah persetubuhan pertama tadi. “Plak.. plak.. plakk..,” kadang Jo terlalu kuat menekan sehingga pahanya beradu dengan paha putih mulus itu. “Ohh.. enak sekali..” pikir Jo. Dia merasakan kenikmatan yang lebih lagi dengan posisi dia yang aktif ini. “Ehh.. shh.. okh..,” Jo benar-benar tak kuasa lagi menutupi rasa nikmatnya.Hampir beberapa menit lamanya keadaan berlangsung seperti itu. Sementara Jo selintas melirik betapa wajah Bu rhien mulai memerah. Matanya terpejam dan dia melengos ke kiri, kadang ke kanan. “Hkkhh..” Bu Rhien berusaha menahan nafas. Mulanya dia berfikir pelayanannya hanya akan sebentar karena dia tahu anak ini pasti sudah diujung “konak”-nya. Tapi ternyata, “Huoohh..,” Bu Rhien merasakan otot-otot kewanitaannya tegang lagi menerima gesekan-gesekan kasar dari Jo. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbangkitkan nafsunya.Jo terus bergoyang, berputar, menyeruduk, menekan dan mendorong sekuat tenaga. Dia benar-benar sudah lupa siapa wanita yang dihadapannya ini. yang terfikir adalah keinginan untuk cepat mengeluarkan sesuatu yang terasa deras mengalir dipembuluh darahnya dan ingin segera dikeluarkannya ..!!”Ehh..” Bu Rhien tak mampu lagi membendung nafsunya. Daster yang tadinya dipegangi agar tubuhnya tidak banyak tersingkap itu terlepas dari tangannya, sehingga kini tersingkap jauh sampai ke atas pinggang. Melihat pemandangan ini Jo semakin terangsang. Dia menunduk mengamati alatnya yang serba hitam, kontras dengan tubuh putih mulus di depannya yang mulai menggeliat-geliat, sehingga menyebabkan batang kemaluannya semakin teremas-remas. “Ohh.. aduh.. Bu..,” Jo mengerang pelan penuh kenikmatan. Yang jelas Bu Rhien tak akan mendengarnya karena beliau sendiri tengah berjuang melawan rangsangan yang semakin dekat ke puncaknya. “Okh.. hekkhh..” Bu Rhien menegang, sekuat tenaga dia menahan diri, tapi sodokan itu benar-benar kuat dan tahan. Diam-diam dia kagum dengan stamina anak ini.Akhirnya karena sudah tidak mampu lagi menahan, Bu Rhien segera mengapitkan kedua pahanya, tanganya meraih sprei, meremasnya, dan.., “Aaakkhh..!” dia mengerang nikmat. Orgasmenya yang kedua dari si Jo malam ini. Sementara si Jo pun sudah tak tahan lagi. Saat paha mulus itu menjepit pinggangnya dan kemudian pantat wanita itu diangkat, penisnya benar-benar seperti dipelintir hingga, “Cruuth..! crut.. crut..!” memancar suatu cairan kental dari sana. Jo merasakan nikmat yang luar biasa. Seperti kencing namun terasa enak campur gatal-gatal gimana. ”Ohk.. ehh.. hh,” Jo terkulai. Tubuhnya bergetar dan dia segera mundur dan mencabut penisnya kemudian terhenyak duduk di kursi sebelah meja di kamarnya. Wajahnya menengadah sementara secara alamiah tangannya terus meremas-remas penisnya, menghabiskan sisa cairan yang ada disana. Ooohh.. enak sekali..Di ranjang Bu Rhien telentang lemas. Benar-benar nikmat persetubuhan yang kedua ini. Beberapa saat dia terkulai seakan tak sadar dengan keadaannya. Bongkahan pantatnya yang mengkal dan mulus itu ter-expose dengan bebas. Rasanya batang kenyal nan keras itu masih menyumpal celah vaginanya. Memberinya sengatan dan sodokan-sodokan yang nikmat. Jo menatap tubuh indah itu dengan penuh rasa tak percaya. Barusan dia menyetubuhinya, sampai dia juga mendapatkan kepuasan. Benarkah..?Sementara itu setelah sadar, Bu Rhien segera bangkit. Dia membenahi pakaiannya. Terlintas sesuatu yang agak aneh dengan anak ini. Tadi dia merasa betapa panas pancaran sperma yang disemburkannya. Seperti air mani laki-laki yang baru pernah bersetubuh. “Berapa jam biasanya kamu melakukan ini dengan Inah, Jo..?” tanya Bu Rhien menyelidik. Jo terdiam. Apakah beliau tidak akan marah kalau dia berterus terang..? “Kenapa diam..?” Jo menghela nafas, “Maaf Bu.. belum pernah.” “Hah..!? Jadi selama ini kamu..?” “Iya Bu. Saya hanya diam saja setelah Ibu pergi.” “Oo..,” Bu Rhien melongo. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau itu yang selama ini terjadi. Alangkah tersiksanya selama ini kalau begitu. Aku ternyata egois juga. Tapi..?, masa aku harus melayaninya. Apapun dia kan hanya pembantu. Dia hanya butuh batang muda-nya saja untuk memenuhi hasrat sex-nya yang menggebu-gebu terus itu. Selama ini bahkan suami dan pacar-pacarnya dulu tak pernah mengetahuinya. Ini rahasia yang tersimpan rapat.“Hmm.. baiklah. Ibu minta kamu jangan ceritakan ke siapapun. Sebenarnya Ibu sudah bicara sama Inah mengenai masalah ini. Tapi rupanya kalian tidak nyambung. Ya sudah.. yang penting sekali lagi, pegang rahasia ini erat-erat.. mengerti..?” kembali suaranya berwibawa dan bikin segan. “Mengerti Bu..,” Jo menjawab penuh rasa rikuh. Akhirnya Bu Rhien keluar kamar dan Jo segera melemparkan badannya ke kasur. Penat, lelah, namun nikmat dan terasa legaa.. sekali.
Diposkan oleh Haryo Saru di 21:51 0 komentar
Label:

Burung Burung Kecil
Sebagai seorang Ibu rumah tangga pekerjaan pagi itu sudah aku selesaikan semua. Aku hempaskan diriku di sofa ruang keluarga untuk melihat acara TV pagi itu. Setelah aku pindah-pindah channel TV ternyata nggak ada acara yang menarik. Akhirnya aku putuskan untuk tiduran di kamar tidur. Setelah merebahkan badanku beberapa lam ternyata mata ini tidak mau terpejam. Rumah yang besar ini terasa sangat sepi pada saat-saat seperti ini. Maklum suami bekerja di kantornya pulang paling awal jam 15.00 sore, sedang anakku yang pertama kuliah di sebuah PTN di Bandung. Anakku yang yang kedua tadi pagi minta ijin untuk pulang sore karena ada acara extrakurikuler di sekolahnya. Sebagai seorang istri pegawai BUMN yang mapan aku diusia yang 45 tahun mempunyai kesempatan untuk merawat tubuh. Teman-temanku sering memuji kecantikan dan kesintalan tubuhku. Namun yang sering membuatku risih adalah tatapan para lelaki yang seolah menelanjangi diriku. Bahkan temen-teman anakku sering berlama-lama bermain di rumahku. Aku tahu seringkali mata mereka mencuri pandang kepadaku. Rumahku terletak di pinggiran kota S, kawasan yang kami huni belum terlalu padat. Halaman rumahku memang luas terutama bagian depan sedang untuk bagian samping ada halaman namun banyak ditumbuhi pepohanan rindang. Kami membuat teras juga disamping rumah kami. Sedang kamar tidurku dan suamiku mempunyai jendela yang berhadapan langsung dengan halaman samping rumah kami.Belum sempat memejamkan mata aku terdengar suara berisik dari halaman samping rumahku. Aku bangkit dan melihat keluar. Kulihat dua anak SMP yang sekolah didekat rumahku. Mereka kelihatan sedang berusaha untuk memetik mangga yang memang berbuah lebat. Tentu saja kau sebagai pemilik rumah tidak senang perilaku anak-anak tersebut. Bergegas aku keluar rumah. Seraya berkacak pinggang aku berkata pada mereka, “Dik, jangan dipetik dulu nanti kalau sudah masak pasti Ibu kasih”. Tentu saja mereka berdua ketakutan. Kulihat mereka menundukkan wajahnya. Aku yang tadi hendak marah akhirnya merasa iba. “Nggak apa-apa Dik, Ibu hanya minta jangan dipetik kan masih belum masak nanti kalau sakit perut bagaimana” aku mencoba menghibur.Sedikit mereka berani mengangkat wajah. Dari dandanan dan penampilan mereka kelihatan bahwa mereka anak orang mampu. Melihat wajah mereka mereka yang iba akhirnya aku mengajak mereka ke dalam rumah. Aku tanya kenapa pada jam-jam belajar mereka kok ada diluar sekolah ternyata pelajaran sudah habis guru-guru ada rapat. Setelah tahu begitu aku minta mereka tinggal sebentar karena mungkin mereka belum dijemput. Iseng-iseng aku juga ada teman untuk ngobrol. Benar dugaanku mereka adalah anak-anak orang kaya, keduanya walaupun masih kecil namun aku dapat melihat garis-garis ketampanan mereka yang baru muncul ditambah dengan kulit mereka yang putih bersih. Yang satu bernama Doni yang satunya lagi bernama Edo.Ketika ngobrol aku tahu mata-mata mereka sering mencuri pandang ke bagian dadaku, aku baru sadar bahwa kancing dasterku belum sempat aku kancingkan., sehingga buah dadaku bagian atas terlihat jelas. Aku berpikir laki-laki itu sama saja dari yang muda sampai yang tua. Semula aku tidak suka dengan perilaku mereka namun akhirnya ada perasaan lain sehingga aku biarkan mata mereka menikmati keindahan payudaraku. Aku menjadi menikmati tingkah laku mereka kepada diriku.Bahkan aku mempunyai pikiran yang lebih gila lagi untuk menggoda mereka, aku sengaja membuka beberapa kancing dasterku dengan alasan hari itu sangat panas. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin salah tingkah. Sekarang mereka bisa melihat dengan leluasa. “Hayoo.. pada ngliatin apa!”, Aku pura-pura mengagetkan mereka. Tentu saja ini sangat membuat mereka menjadi sangat salah tingkah.“Ti.. dak.. kok.. Bu Nita” Doni membela diri. “I.. itu acara TV bagus Bu Nita” Edo menambahkan. “Nggak apa-apa Ibu tahu kalian melihat tetek Ibu to.. ngaku aja” aku mencoba mendesak mereka. “E.. Anu Bu Nita” Edo nampak akan mengatakan sesuatu, namun belum lagi selesai kalimat yang diucapkannya aku kembali menimpali, “Mama kalian kan juga punya to, dulu kalian kan netek dari Mama kalian” “I.. ya Bu Nita” Doni menjawab. “Tapi sekarang kami kan sudah nggak netek lagi, lagian punya Mama lain ama punya Bu Nita” Edo nampaknya sudah mampu menguasai keadaannya. “Lain bagaimana?” Aku menanyakan. “Punya Mama nggak sebesar punya Bu Nita” Doni menyahut.Kata-kata tersebut membuat aku berpikiran lebih gila lagi. Gairahku yang semakin meninggi sudah mengalahkan norma-norma yang ada, aku sudah kehilangan kendali bahwa yang ada di depanku adalah anak-anak polos yang masih bersih pikirannya. Aku menarik kursi kehadapan mereka. “Doni, Edo kalian mungkin sekarang sudah nggak netek lagi karena kalian sudah besar kalian boleh kok..” aku berkata. Tentu saja kata-kataku ini membuat mereka penasaran. “Boleh ngapain Bu Nita” sergah Doni. “Boleh netek sama Ibu, kalian mau nggak..?” tanyaku walau sebenarnya aku sangat sudah tau jawaban mereka. “E.. ma.. u” jawab Edo. “Mau sekali dong” Doni menyahut.Jawaban mereka membuat aku semakin bergairah. Aku berpikiran hari ini aku akan mendapatkan sensasi dari pria-pria muda ini. Aku duduk dihadapan mereka kemudian dengan agak tergesa aku melepaskan daster bagian atasku sehingga kini bagian atas tubuhku hanya tertutupi BH warna krem. Sepertinya mereka sudah tidak sabaran lagi terlihat dari tangan-tangan mereka yang mulai menggerayangi susuku. Aku menjadi geli melihat tingkah mereka. “Sabar sayang.. Ibu lepas dulu kutangnya” sambil tersenyum aku berkata. Setelah aku melepas kutang, tumpahlah isinya, sekarang buah dadaku terbuka bebas. Mata mereka semakin melotot memandangi payudaraku. Tampaknya mereka bingung apa yang harus mereka lakukan. “Ayo dimulai kok malah bengong” aku menyadarkan mereka. Mereka bangkit dari duduknya. Tangan mereka kelihatan berebut untuk meremas. “Jangan rebutan dong.. ah.. Doni yang kiri.. e yang kanan” perintahku.Birahiku semakin meninggi, sementara Doni sudah mulai mendekatkan bibirnya ke putingku Edo masih membelai sambil dipilin-pilin putingku. Edo mulai mengisap-isap putingku. Oh betapa seakan perasaanku melayang ke awan, apalagi ketika mereka berdua mengisap secara bersamaan nafasku menjadi tersengal. Tanganku membelai kadang agak sedikit menjambak sambil menekan kepala mereka agar lebih dalam lagi menikmati buah dadaku.Mereka semakin menikmati mainan mereka aku semakin terhanyut, aku ingin lebih dari hanya ini. Aku semakin lupa. Ketika baru nikmat-nikmatnya tiba-tiba Edo melepaskan isapannya sambil berkata, “Bu Nita kok nggak keluar air susunya?”. Aku kaget harus menjawab apa akhirnya kau menjawab sekenanya, “Edo mau nggak, kalo nggak mau biar Doni saja.. mau nggak?” “Mau..” Edo langsung menyahut. Doni tidak menggubris dia semakin lahap menikmati buah dadaku. Akhirnya aku ingin lebih dari sekedar itu. “Don.. Edo.. ber.. henti dulu..” aku meminta. “Ada apa Bu Nita?” Doni bertanya. “Kita ke kamar saja yuk.. disini posisinya nggak enak” jawabku. Kemudian aku berdiri tentu saja daster yang aku pakai merosot kebawah. Mata mereka menatap tubuhku yang sintal dengan penuh nafsu. “Ayo..” aku mengajak.Aku berjalan ke kamarku hanya menggunakan celana dalam yang berwarna hitam yang kontras dengan kulitku yang putih. Seperti kerbau dicocok hidungnya mereka mengikuti diriku. Sampai di dalam kamar aku duduk di sisi ranjang. “Don.. Edo.. sayang lepas saja seragam kalian” pintaku. “Tapi Bu Nita” Edo masih agak ragu. “Sudahlah turuti saja” aku menyahut. Dengan malu-malu mereka mulai melepas baju dan celana seragam mereka. Tampaklah kontol-kontol dari pria-pria muda itu sudah ngaceng. Rambut kemaluan mereka tampak belum tumbuh lebat, sedang batang kemaluannya belum tumbuh benar masih agak kecil. Namun melihat pemandangan ini libidoku semakin naik tinggi.“Bu Nita curang..” Edo berkata. “Kok curang bagaimana?” aku bertanya. “Bu Nita nggak melepas celana Ibu!” Edo menjawab. Gila anak ini, aku tersenyum kemudian bangkit dari dudukku. Celana dalamku kemudian aku lepaskan. Sekarang kami bertiga telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Tatapan mereka tertuju pada benda yang ada dibawah pusarku. Bulu yang lebat dan hitam yang tumbuh menarik perhatian mereka. Aku duduk kembali dan agak meringsut ke ranjang lalu menaikkan kakiku dan mengangkangkannya. Memekku terbuka lebar dan tentu saja terlihat isi-isinya. Mereka mendekat dan melihat memekku. “Ini namanya memek, lain dengan punya kalian” aku menerangkan. “Kalian lahir dari sini” aku melanjutkan. Tangan mereka mengelus-elus bibir kemaluanku. Sentuhan ini nikmat sekali. “Ini kok ada lobang lagi” Doni bertanya. “Lho ini kan lobang buat beol” aku agak geli sambil menerangkan.Jari Doni masuk ke lobang vaginaku dan bermain-main di dalamnya. Cairan-cairan tampak semakin membanjiri liang vaginaku. Sementara jari Edo kelihatannya lebih tertarik lubang duburku. Jari Edo yang semula mengelus-elus lobang dubur kemudian nampaknya mulai berani memasukkan ke lobang duburku. Aku biarkan kenikmatan ini berlangsung. “Ouw.. a.. duh.. e.. nak.. sekali.. nik.. mat.. sa.. yang.. terr.. us” aku merintih.Pria-pria muda ini agak lama aku biarkan mengobok-obok lobang-lobangku. Sungguh pria-pria muda ini memberiku kenikmatan yang hebat. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku tanpa bisa berkata-kata hanya rintihan dan nafas yang tersengal-sengal. Akhirnya aku mendorong mereka aku bangkit dan menghampiri mereka yang berdiri di tepi ranjang. Aku berjongkok dihadapan mereka sambil kedua tanganku memegang diiringi dengan remasan-remasan kecil pada penis mereka. Aku mendekatkan wajahku pada penis Doni aku kulum dan jilati kepala penis muda nan jantan ini. Tampak kedua lutut Doni tergetar. Aku masukkan seluruh batang penis itu kedalam mulutku dan aku membuat gerakan maju mundur. Tangan Doni mencengkeram erat kepalaku. Sementara tanganku yang satu mengocok-kocok kontol Edo.“Bu Nita.. say.. ya.. ma.. u.. ken.. cing..” Doni merintih. Tampaknya anak ini akan orgame aku nggak kan membiarkan hal ini terjadi karena aku masih ingin permainan ini berlanjut. Kemudian aku beralih pada penis Edo. Tampak penis ini agak lebih besar dari kepunyaan Doni. Aku mulai jilati dari pangkal sampai pada ujungnya, lidahku menari di kepala penis Edo. Aku tusuk-tusuk kecil lobang perkencingan Edo kemudian aku masukkan seluruh batang penis Edo. Jambakan rambut Edo kencang sekali ketika aku semakin mempercepat kulumanku. “Wouw.. a.. ku.. ju.. ga.. mo.. ken.. cing.. nih” Edo merintih. Aku hentikan kulumanku kemudian aku bangkit dan naik ke atas ranjang lalu aku kangkangkan kakiku lebar-lebar sehingga memekku terbuka lebar. “Siapa duluan sayang, itu tititnya dimasukkan ke sini” aku berkata sambil tanganku menunjuk ke lobang vaginaku yang nampak sudah basah kuyup.Mereka berpandangan, tampaknya membuat persetujuan. Dan akhirnya Doni duluan yang akan menusukku. Doni naik ke atas ranjang dan mengangkangiku tampak penis yang tegang mengkilat siap menusuk lobang wanita yang pantas menjadi neneknya. Aku tuntun penis Doni masuk ke lobang kenikmatanku. Aku tuntun pria muda ini melepas keperjakaannya, memasuki kenikmatan dengan penuh kasih. Dan bless.. batang zakar Doni amblas ke dalam vaginaku. “Ah..” aku mendesis seperti orang kepedasan. “Masukkan.. le.. bih.. da.. lam lagi.. dan genjot.. say.. ang” aku memberi perintah. “Iya.. Bu Nita.. e.. naak.. se.. kali” Doni berkata.Aku hanya bisa tersenyum sambil menggigit bibir bagian bawahku. Tampaknya Doni cepat memahami perkataanku dia memompa wanita tua yang ada dibawahnya dengan seksama. Genjotannya semakin lama semakin cepat. Edo yang menunggu giliran hanya tertegun dengan permainan kami. Genjotan Doni kian cepat aku imbangi dengan goyanganku. Dan tampaknya hal ini membuat Doni tidak kuat lagi menahan sperma yang akan keluar. Dan akhirnya “Sa.. ya.. mo.. ken.. cing.. la.. gi.. Tak.. ta.. han.. la.. gi..” Doni setengah berteriak. Kakiku aku lipat menahan pantat Doni. Doni merangkul erat tubuhku dan.. cret.. cret.. ser.. cairan hangat membajiri liang kewanitaanku.Doni terkulai lemas diatas tubuhku, butiran-butiran keringat keluar dari sekujur tubuhnya. “Enak.. se.. ka.. li Bu Nita” Doni berkata. “Iya.. tapi sekarang gantian Edo dong sayang” aku berkata. Doni mencabut penisnya yang sudah agak mengempis dan terkapar lemas disampingku. “Edo sekarang giliranmu sayang” aku berkata kepada Edo . “Kamu tusuk Ibu dari belakang ya..”aku memberi perintah. Kemudian aku mengambil posisi menungging sehingga memekku pada posisi yang menantang. Edo naik ke atas ranjang dan bersiap menusuk dari belakang. Dan bless.. penis pria muda yang kedua memasuki lobang kenikmatanku yang seharusnya belum boleh dia rasakan seiring dengan melayangnya keperjakaan dia.Tampaknya Edo sudah agak bisa menggerakkan tubuhnya dengan benar dari dia melihat permainan Doni. Edo menggerakkan maju mundur pantatnya. Aku sambut dengan goyangan erotisku. Semakin lama gerakan Edo tidak teratur semakin cepat dan tampaknya puncak kenikmatan akan segera diraih oleh anak ini. Dan akhirnya dengan memeluk erat tubuhku dari belakang sambil meremas susuku Edo mengeluarkan spermanya.. cret.. cret.. lubang vaginaku terasa hangat setelah diisi sperma dua anak manis ini.. Edo terkapar disampingku. Dua anak mengapitku terkapar lemas setelah memasuki dunia kenikmatan.Aku bangkit dan berjalan ke dapur tanpa berpakaian untuk membuatkan susu biar tenaga mereka pulih. Setelah berpakaian dan minum susu mereka minta ijin untuk pulang. “Doni, Edo kalian boleh pulang dan jangan cerita kepada siapa-siapa tentang semua ini, kalian boleh minta lagi kapan saja asal waktu dan tempat memungkinkan” aku berkata kemudian mencium bibir kedua anak itu. Aku memberi uang jajan mereka masing-masing 50.000 ribu.Dan sampai saat ini mereka telah kuliah, aku masih sering kencan dengan mereka. Aku semakin sayang dengan mereka.

Tidak ada komentar: