Minggu, 23 November 2008
guru seks
Bermula dari 25 tahun silam, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Surabaya. Sebagai seorang pemuda perantau yang masih lugu, saya ke pulau Jawa untuk melanjutkan studi dan mengadu nasib. Paman dan Bibi yang tinggal di sebuah kota kecil LM sebelah timur Surabaya sudah dikirimi telegram untuk menjemput saya, namun karena komunikasi yang kurang lancar, sehingga kami tidak bertemu. Dengan berbekal alamat rumah Paman, saya memutuskan untuk langsung berangkat ke kota LM dengan menggunakan bis kota. Tiba di kota LM sudah menjelang sore hari, dan dalam keadaan lapar saya menuju ke rumah Paman, namun ternyata Paman dan Bibi sudah sejak pagi berangkat ke Surabaya untuk menjemput saya. Berkat kebaikan tetangga (karena sudah diberitahu Bibi mengenai kedatangan saya) Pak Edy dan istrinya Bu Ning (keduanya berusia sekitar 45 tahunan), saya diberitahu untuk tinggal sementara di rumah mereka. Disinilah awal dari inti kisah nyata saya.Bu Ning sebagai umumnya wanita Jawa setengah baya dan kebetulan belum dikaruniai momongan selalu memakai kebaya dan rambutnya disanggul, sehingga penampilan selalu anggun. Bertubuh sekal, pinggul dan pantatnya yang besar, suka tersenyum dan sangat baik.Malam itu kira-kira jam 19:00 Pak Edy sebagai petugas kantor pos harus lembur malam karena akhir Desember banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sementara saya karena kecapaian setelah menempuh perjalanan panjang tertidur pulas di kamar yang telah disediakan Bu Ning. Kira-kira jam 11 malam saya terbangun untuk ke kamar kecil yang ada di belakang rumah, dan saya harus melewati ruang tamu. Di ruang tamu saya melihat Bu Ning sedang menonton TV sendirian sambil rebahan di kursi panjang. “Mau kemana Dik..? Mau keluar maksudnya..?” tanya Bu Ning lagi. Karena rupanya Bu Ning tidak mengerti, akhirnya saya katakan bahwa saya mau kencing. “Ohh.., kalau begitu biar Ibu antarkan.” katanya.Waktu mengantar saya, Bu Ning (mungkin pura-pura) terjatuh dan memegang pundak saya. Dengan sigap saya langsung berbalik dan memeluk Bu Ning, dan rupanya Bu Ning langsung memeluk dan mencium saya, namun saya berpikir bahwa ini hanya tanda terima kasih. Setelah kencing saya balik ke kamar, namun Bu Ning mengajak saya untuk nonton TV. Posisi Bu Ning sekarang tidak lagi berbaring, namun duduk selonjor sehingga kainnya terangkat ke atas dan kelihatan betisnya yang putih bulat. Sebagai pemuda desa yang masih lugu dalam hal sex, saya tidak mempunyai pikiran yang aneh-aneh, dan hanya menonton sampai acara selesai dan kembali ke kamar untuk tidur lagi.Pagi-pagi saya bangun menimba air di sumur mengisi bak mandi dan membantu Bu Ning untuk mencuci, sementara Paman dan Tante belum kembali dari Surabaya karena mereka sedang mencari saya disana. Om Edy sudah berangkat lagi ke kantor, tinggal saya dan Bu Ning di rumah. Bu Ning tetap mengenakan sanggul. Beliau tidak berkebaya melainkan memakai daster yang longgar, duduk di atas bangku kecil sambil mencuci. Rupanya Bu Ning tidak memakai CD, sehingga terlihat pahanya yang gempal, dan ketika tahu bahwa saya sedang memperhatikannya, Bu Ning sengaja merenggang pahanya, sehingga kelihatan jelas bukit vaginanya yang ditumbuhi bulu yang cukup lebat, namun hingga selesai mencuci saya masih bersikap biasa. Setelah mencuci, Bu Ning memasak, saya asyik mendengarkan radio, waktu itu belum ada siaran TV pagi dan siang hari. Siangnya kami makan bersama Om Edy yang memang setiap hari pulang ke rumah untuk makan siang.Malam harinya Om Edy kembali lembur, dan Bu Ning seperti biasa kembali mengenakan kebaya dan sanggul, sambil nonton TV. Di luar hujan sangat lebat, sehingga membuat kami kedinginan, dan Bu Ning meminta saya untuk mengunci semua pintu dan jendela. Pada saat saya kembali ke ruang tamu, rupanya Bu Ning tidak kelihatan. Saya menjadi bingung, saya cek apakah dia ada di kamarnya, juga ternyata tidak ada. Saya balik ke kamar saya, ternyata Bu Ning sedang berbaring di kamar saya, dan pura-pura tidur dengan kain yang tersingkap ke atas, sehingga hampir semua pahanya yang putih mulus terlihat jelas.Saya membangunkan Bu Ning, namun bukannya bangun, malah saya ditarik ke samping ranjang, dipeluk dan bibir saya diciuminya. Karena saya masih bersikap biasa, Bu Ning membuka kebayanya dan meminta saya untuk mencium buah dadanya yang sangat besar dengan puting hitam yang sangat menantang. Saya menuruti dengan perasaan takut, dan ternyata ketakutan saya membuat Bu Ning semakin penasaran dan meminta saya untuk membuka baju dan celana panjang, sehingga tinggal CD, sementara Bu Ning mulai membuka kainnya. Bu Ning mulai mencium adik kecil saya, dan meminta saya melakukan hal yang sama, dengan mencium vaginanya yang wangi dan merangsang secara bergantian. Sambil mencium vaginanya, tangan saya disuruh meremas buah dadanya yang masih keras dan kadang memilin putingnya yang mulai mengeras, nafas Bu Ning mulai terasa cepat, dan meminta saya untuk membuka CD dan mencium tonjolan daging yang tersembul di mulut vagina. Saya melakukan sesuai perintah Bu Ning, dan ternyata terasa basah di hidung saya karena banyaknya cairan yang keluar dari vagina Bu Ning, sementara Bu Ning mendesis dan mendesah keenakan dan kadang-kadang mengejangkan kakinya. “Uhh.. ohh.. ahh.. ohh.., terus Dik..!” desahnya tidak menentu. Meriam saya berdiri tegang dan Bu Ning masih mempermainkan dengan tangannya. Sesekali Bu Ning meminta saya untuk mengulum bibir dan putingnya. Setelah puas dengan permainan cumbu-cumbu kecil ini, Bu Ning kembali ke kamarnya dan saya pun teridur dengan pulasnya.Pagi-pagi Paman dan Bibi yang rupanya telah kembali dini hari menjemput saya, dan rumah Paman dan rumah Om Edy ternyata bersambungan dan hanya dibatasi sumur yang dipergunakan bersama. Setelah berbasa-basi sebentar, dan Bu Ning katakan bahwa saya sudah dianggap anak sendiri, jadi kalau Paman dan Bibi berpergian, saya bisa tidur di rumah Om Edy. Kebetulan Paman pada saat itu sedang menyelesaikan tugas akhirnya di PTN di kota ML. Kehidupan hari-hari selanjutnya kami lalui dengan biasa, namun kalau sedang berpapasan di sumur kami selalu senyum penuh arti, dan makin lama membuat saya mulai jatuh cinta kepada Bu Ning, senang melihat penampilannya yang anggun. Sebulan kemudian Paman dan Bibi harus ke Ml, dan saya dititipkan lagi pada Om Edy.Hari itu adalah hari Jumat. Setelah selesai sarapan, Om Edy pamitan untuk ke BTR karena ada acara dari kantor sampai minggu sore, dan meminta saya untuk menjaga Bu Ning. Setelah Om Edy berangkat, saya dan Bu Ning mulai tugas rutin, yaitu mencuci, dan seperti biasanya Bu Ning selalu mengenakan daster, tanpa CD. Saya diminta Bu Ning agar cukup memakai CD. Sambil mencuci kami bercengkrama, ciuman bibir dan mengulum putingnya. Saya berdiri menimba air dan Bu Ning jongkok sambil mencium adik kecil saya, atau Bu Ning yang menimba air saya yang jongkok sambil mencium klitorisnya yang sudah mulai mengeluarkan cairan. Ketika kami saling birahi dan sudah mencapai puncak, Bu Ning saya gendong ke kamar. Di ranjang, Bu Ning saya pangku. Sambil mencium leher, samping kuping dan mengulum putingnya (menurutnya kuluman puting cepat membuatnya horny), kemudian Bu Ning mengambil posisi telentang dan meminta saya untuk memasukkan meriam saya yang memang sudah tegang sejak masih berada di sumur.Karena Bu Ning jarang melakukannya, maka meriam saya perlu dioleskan baby oil agar mudah masuk ke vaginanya yang sudah basah dengan cairan yang beraroma khas wanita. Pahanya dilebarkan, dilipatkan di belakang betis saya, pantatnya yang bahenol bergoyang naik turun. Sambil mencium keningnya, samping kupingnya, mengulum bibirnya, tangan kiri saya mengusap dan kadang menggigit kecil putingnya atau menjilat leher dan dadanya. “Teruss.. Dikk..! Tekan..! Huh.. hah.. huh.. hahh.. ditekan.. enakk sekali.. Ibu rasanya.. nikmatt.. teruss.., Ibu udah mau nyampen nih.. peluk Ibu yang erat Dikk..!” desahnya mengiringi gerakan kami. Sementara itu saya merasakan makin kencang jepitan vagina Bu Ning. “Saya udahh.. mauu.. jugaa.. Bu..! Goyang.. Bu.., goyang..!” Dan akhirnya..,. Akhirnya kami terkulai lemas sambil tidur berpelukan.Jam 4 sore kami bangun, dan kemudian mandi bersama. Saya meminta Bu Ning menungging, dan saya mengusap pantat dan vaginanya dengan baby oil. Rupanya usapan saya tersebut membuat Bu Ning kembali horny, dan meminta saya untuk memasukkan kembali adik kecil saya dengan posisi menungging. Tangan saya mempermainkan kedua putingnya. “Teruss.. ohh.. teruss.. yang dalam Dik..! Kok begini Ibu rasa lebih enak..!” katanya. “Ibu goyang dong..!” pinta saya. Sambil pantatnya digoyangkan ke kiri dan ke kanan, saya melakukan gerakan tarik dan masuk. “Oohh.. ahh.. uhh.. nikmat Dikk.. terus..!” desahnya. Akhirnya Bu Ning minta ke kamar, dan mengganti posisi saya telentang. Bu Ning duduk sambil menghisap putingnya. “Ohh.. uhh.. nikmat Dikk..!” katanya. Kadang dia menunduk untuk dapat mencium bibir saya. “Ibu.. udahh.. mau nyampe lagi Dikk.. uhh.. ahh..!” katanya menjelang puncak kenikmatannya. Dan akhirnya saya memuntahkan sperma saya, dan kami nikmati orgasme bersama. Hari itu kami lakukan sampai 3 kali, dan Bu Ning benar-benar menikmatinya.Malamnya kami hanya tidur tanpa mengenakan selembar benang pun sambil berpelukan. Dan keesokan harinya kami lakukan hal yang sama seperti kemarin, dan serasa kami sedang berbulan madu, sampai kedatangan Om Edy.Pengalaman dengan mentor sex saya ini ternyata dikemudian hari ada juga manfaatnya untuk menghilangkan kejenuhan, karena mengajarkan bagaimana melakukan “foreplay” dengan pasangan sebelum sampai pada puncak permainan. Selain itu timbul suatu kelainan dalam kehidupan sex saya, karena hanya menikmati sex setelah melihat atau membayangkan atau melakukan dengan wanita STW yang berkebaya/sanggul atau rambut disasak.Akhir bulan Februari tahun berikutnya saya harus berangkat ke Jakarta karena akan melanjutkan kuliah disana. Setiap liburan saya menyempatkan diri untuk berlibur di rumah Paman dan bertemu dengan kekasih saya, dan Mentor sex saya Bu Ning yang selalu mengenakan kebaya dan bersanggul. Dan juga apabila ada kesempatan, kami mengulangi permainan sex dengan pola permainan yang sama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar